ASPEK PERPAJAKAN BISNIS REAL ESTATE
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia yang memiliki
pertumbuhan ekonomi positif meski krisis ekonomi global belum sepenuhnya
berakhir. Kondisi tersebut turut mendorong pertumbuhan industri properti. Para
analis properti dari Colliers International Indonesia, Jones Lang LaSalle
Indonesia dan pakar properti Indonesia Dr.Ir. Panangian Simanungkalit
memprediksi kondisi pasar properti Indonesia akan mulai bangkit setelah krisis
ekonomi global tahun 2008 tersebut. Kebangkitan tersebut dimulai 2 tahun
setelah masa krisis berakhir yaitu pada tahun 2010. Tahun tersebut merupakan
fase awal dari tahapan pertumbuhan (growth)
industri properti di Indonesia. Fase selanjutnya adalah fase seller market yaitu waktu dimana
konsumen maupun investor membeli dan berinvestasi di sektor properti. Masa
tersebut terjadi hingga tahun 2013. Fase selanjutnya adalah fase booming properti yang diprediksi akan
terjadi tahun 2014 hingga 2015.
Indikator lain
yang menunjang prediksi booming properti
di Indonesia adalah tingkat suku bunga KPR yang cukup rendah, tingkat inflasi
yang terjaga dan stabil, ledakan jumlah penduduk kelas menengah Indonesia yang
luar biasa, peningkatan jumlah wisatawan ke Indonesia dan derasnya dana masuk
dari negara-negara yang terkena krisis ke Indonesia untuk mengamankan dananya
dengan berinvestasi yang salah satunya investasi properti.
Prediksi para analis dan pakar properti tersebut secara kasat mata dapat
kita lihat dari bagitu gencarnya pembangunan berbagai produk properti di
berbagai wilayah khususnya kota-kota besar di Indonesia. Pembangunan perumahan,
apartemen, kondominium, pusat perdagangan, gedung perkantoran, rumah toko dan
rumah kantor serta pembangunan kawasan industri baru menjadi pemandangan yang umum
terlihat di kota-kota besar dan kota-kota di sekelilingnya. Pasokan properti
yang ada terserap dengan baik oleh pasar bahkan permintaan pun lebih besar dari
penawaran yang ada.
Kondisi pertumbuhan dan booming industri
properti di Indonesia turut membawa pula efek berganda pada sektor usaha
lainnya seperti perbankan melalui penyaluran kredit kepemilikan properti,
perusahaan konstruksi, notaris, industri mebel, pengusaha bahan bangunan dan
usaha terkait lainnya. Potensi penerimaan negara dari booming industri properti ini diperkirakan sangat besar.
Data
pertumbuhan kredit kepemilikan properti berupa KPR (rumah) maupun KPA
(apartemen) selama 2 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang luar biasa
sebagaimana tabel berikut.
Jenis Properti
|
Nilai Kredit 2012
|
Nilai Kredit 2011
|
Pertumbuhan
|
Apartemen
|
10.270.000.000.000
|
5.570.000.000.000
|
84 %
|
Ruko dan
Rukan
|
19.980.000.000.000
|
15.200.000.000.000
|
31 %
|
Perumahan
|
211.470.000.000.000
|
176.650.000.000.000
|
19 %
|
Jumlah
|
241.720.000.000.000
|
197.420.000.000.000
|
|
Sumber: Bank Indonesia
Nilai tersebut
hanya dari penjualan tanah dan/atau bangunan yang menggunakan fasilitas kredit
perbankan.
Pelaku Usaha dan Produknya
Sektor usaha real estat berhubungan erat dengan permasalahan
tata wilayah, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Pemerintah sebagai
pemegang kekuasaaan negara memiliki hak mengatur agar kegiatan usaha sektor ini
tidak mengganggu keseimbangan lingkungan fisik maupun sosial di suatu wilayah.
Oleh karenanya, banyak ketentuan yang dibuat untuk mengatur aktifitas usaha
sektor ini seperti berbagai perizinan yang harus diperoleh, kualifikasi usaha
yang harus dimiliki dan kewajiban yang harus dipenuhi para pelaku usaha sektor
ini.
a.
Pelaku Usaha
Pelaku bisnis sektor usaha real estat lebih dikenal dengan
sebutan pengembang atau developer harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat melakukan
pembangunan, diantaranya:
i.
Berbentuk badan hukum yang telah
mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (PT dan
Yayasan) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Koperasi)
ii.
Dalam akta pendiriannya bertindak
sebagai pengembang bagi PT, sedangkan bagi yayasan dan koperasi dalam AD/ART
bertujuan menyediakan perumahan bagi anggotanya.
iii. Memiliki sertifikat pengembang yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan atau tergabung dalam asosiasi
pengembang seperti REI, Apersi dan Apernas.
Sebagai catatan, perseorangan dapat saja melakukan
pembangunan properti, namun dengan pembatasan unit dalam satu lokasi yang
ketentuannya diatur oleh masing-masing pemerintah daerah (contoh: Pemda Kab.
Sleman membatasi maksimal 4 unit dalam satu lokasi).
b. Produk Properti
Seringkali terjadi kebingungan pada penggunaan istilah
properti dan real estate meski
keduanya merujuk kepada satu maksud dan pemahaman yang sama yaitu segala bentuk
bangunan fisik baik berupa permanen, semi permanen ataupun sementara, beserta
bumi dimana dia berdiri.
Kata properti merujuk dari kata aslinya dalam bahasa Inggris
yaitu property sebenarnya lebih
mengarah ke aspek hukum berupa hak dan kepemilikan atas suatu tanah beserta
pengolahan dan pembangunannya.
Sedangkan kata real
estate berasal dari serapan bahasa Inggris yang sebenarnya juga merupakan
kata serapan dari bahasa Spanyol yang terdiri dari 2 kata yaitu kata real yang berarti royal atau kerajaan
dan kata estate yang berarti tanah
(pertanian/kebun), sehingga bisa diartikan sebagai suatu kawasan tanah yang
dikuasai oleh raja, bangsawan, dan tuan tanah.
Namun demikian, kedua istilah ini telah
mengalami pergeseran makna dimana istilah properti lebih mengarah kepada suatu
bangunan tunggal atau banyak sedangkan istilah real estat lebih diartikan suatu
kompleks bangunan yang memiliki lanskap (tanah dan lingkungannya seperti taman,
jalan, saluran air) dengan komposisi yang dominan.
Meskipun kata properti lebih umum digunakan berbagai pihak
di media untuk menjelaskan perihal tanah dan bangunan, Direktorat Jenderal
Pajak lebih memilih istilah real estat dalam Klasifikasi Lapangan Usaha untuk
menunjuk kelompok pelaku usaha yang melakukan pembelian, penjualan, persewaan
dan pengoperasian atas tanah serta bangunan.
Adapun produk dari usaha real estat ini dapat dibagi 2, yaitu:
i. Residensial
n
Perumahan dengan berbagai jenis dan
tipe (termasuk tanah kapling), Cluster, Town House
n
Rumah Susun (Rusun)
n
Rumah Toko
(Ruko)
n
Rumah Kantor (Rukan)
n
Apartemen/Kondominium
ii. Komersial
n
Gedung Perkantoran
n
Pusat Perbelanjaan (ritel)
n
Lahan Industri
n
Kawasan Pergudangan
ASPEK PERPAJAKAN BISNIS REAL
ESTAT
Dalam transaksi penjualan perumahan, baik pembeli maupun
penjual (pengembang) dikenakan pajak-pajak, yaitu:
1.
Pajak
yang ditanggung oleh konsumen:
1)
PPN
2)
BPHTB
: atas kepemilikan tanah.
3)
PPh
Pasal 22 atas Real Estat yang termasuk kategori Barang Mewah
2.
Pajak
yang terkait dengan WP Real Estat
1)
PPh
Pasal 4 ayat (2), PPh Badan dari WP Real Estatee per 1 Januari 2009
2)
BPHTB,
Pembebasan Tanah
3)
PPh
Pasal 21, Gaji, upah karyawan
4)
PPh
Pasal 23, Sewa Alat Berat
5)
Bea
Materai, Surat Perjanjian Kerja
Pada
penjualan tanah dan bangunan konsumen menangung pajak-pajak berupa PPN, PPnBm
dan BPHTB.
PPN
dan PPnBM dipungut oleh penjual, sedangkan BPHTB harus dilunasi sebelum akta
jual beli ditanda tangani oleh notaris.
ALUR
PRODUKSI BISNIS REAL ESTAT
NO
|
POS/AKUN
|
PAJAK YANG TERKAIT
|
KETERANGAN
|
1.
|
PENJUALAN
|
KONSUMEN
|
|
|
|
1.
PPN
|
10% X Harga Jual
|
|
|
2.
PPnBM
|
20% X Harga Jual
|
|
|
3.
BPHTB
|
5% (Harga Jual – NPOTKP)
|
|
|
4.
Bea
Materai
|
SPK Rp 6.000,-
|
|
|
5.
PPh
atas Barang Mewah
|
5% x Harga
Jual
Rumah mewah
> Rp 10M dan Luas Tanah > 500m2
Apartemen > Rp 10M dan luas Bng
> 400m2
|
|
|
|
|
|
|
WP BADAN REAL ESTATE
|
|
|
|
1.
PPh
Pasal 4 ayat (2)
|
5 % X Harga
Jual
1% X Harga Jual à RSS
|
2.
|
HARGA POKOK PENJUALAN
|
|
|
|
a.
Pembebasan
Lahan
|
BPHTB
|
|
|
|
PPh Pasal 4 ayat (2)
|
Dibayar oleh penjual tanah
|
|
|
PPh Pasal 21
|
Apabila menggunakan makelar
|
|
|
PPN 10%
|
Apabila penjual adalah PKP
|
3.
|
BIAYA
OPERASIONAL
|
|
|
|
a.
Biaya
Gaji, Upah
|
PPh Pasal
21
|
|
|
b.
Sewa
|
PPh Pasal
23
|
2% X Jumlah
Bruto
Sewa Non
Tanah/Bangunan
Misal: Alat Berat, Kendaraan
|
|
c.
Perizinan
|
PPh Pasal
21/23
|
Apabila Perizinan menggunakan jasa
pihak ke-3 Ã Konsultan, Notaris
|
|
d.
Konstruksi
|
PPh Pasal 4
ayat (2)
|
Tarif:
Jasa Pelaksanaan:
Ø Kualifikasi Usaha Kecil =
2%
Ø Kualifikasi Usaha
Menengah dan Besar = 3%
Ø Non Kualifikasi Usaha =
4%
Jasa Perencanaan dan Pengawas:
Ø Memiliki Kualifikasi
Usaha = 4%
Ø Memiliki Kualifikasi
Usaha = 6%
Penerbit
Sertifikasi= GAPENSINDO
http://gapeksindo.co.id/id/
|
|
e.
Pemecahan
Sertifikat
|
PPh Pasal
23
PPN
|
2% x jasa
yang diterima Notaris
10% x jasa yang diterima notaris
|
|
f.
Biaya
Marketing
|
PPh Pasal
21
|
PPh atas Komisi
|
n Peraturan Terkait PPh
1. Penjual
dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final
Besarnya
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat
(1) PP Nomor 71/2008 tentang Perubahan ketiga PP48/1994 tentang Pembayaran PPh
atas Penghasilan dari Pengahlihan Haak Atas Tanah dan/atau Bangunan, adalah
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar
1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.
Sesuai
SE- SE - 6/PJ.03/2008 tentang Penyampaian PP71/2008, disebutkan bahwa Rumah Sederhana terdiri atas Rumah
Sederhana Sehat dan Rumah Inti tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan Rumah Susun
Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan
yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur
baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal
termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-80/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Yang Diterima
Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan/Atau Bangunan.
Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh WP real estat dilakukan :
a.
paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran, dalam hal pembayaran atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran;
b. sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani
oleh pejabat yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana
dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai pengalihan hak.
c. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara
nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah
dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan,
perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang”.
2. Pembeli
Real Estat Mewah dikenakan PPh Pasal 22 yang bisa dikreditkan
Disamping itu bagi Pengusaha Real Estat yang memenuhi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 Tentang Wajib Pajak Badan
Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang
Yang Tergolong Sangat Mewah harus memungut PPh wajib memungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah,
dengan ketentuan:
(1) Barang yang tergolong sangat mewah adalah:
i. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas
bangunan lebih dari 500m2 (lima ratus meter persegi);
ii. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual
atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)
dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi);
(2) Pemungut Pajak wajib memungut Pajak Penghasilan pada saat
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah
(3) Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% (lima persen)
dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
(4) Pajak Penghasilan dapat diperhitungkan
sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang
melakukan pembelian barang yang tergolong sangat mewah.
n Peraturan Terkait PPN
Sesuai Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
yang berlaku mulai 1 Januari 2014, Pengusaha dengan Peredaran usaha Barang Kena Pajak/Jasa
kena Pajak yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan
bruto lebih dari Rp 4,8 Milyar wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Oleh karena itu, Pengusaha real estat yang merupakan
PKP dan melakukan penyerahan tanah dan/atau bangunan wajib memungut PPN sebesar 10% dari harga jual rumah
dan atau tanah. Harga Jual yaitu nilai berupa uang termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
PPN Dibebaskan
Pada
prinsipnya semua penyerahan rumah yang dilakukan oleh PKP Real Estate dikenakan
PPN, namun ada beberapa penyerahan rumah yang mendapat fasilitas pajak berupa
PPN Dibebaskan.
Peraturan yang terkait dengan PPN
Dibebaskan adalah:
1. Rusunami
Rusunami (Rumah Susun
Sederhana Milik) diatur dalam PP Nomor 12/2001 tentang Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sdtd PP Nomor 31 Tahun 2007
Rumah Susun Sederhana
Milik, yang selanjutnya disebut RUSUNAMI, adalah bangunan bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang
dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian
maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui
kredit kepemilikanrumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi
ketentuan :
1.
luas
untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan tidak
melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
2.
harga
jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000,00 (seratus empat puluh
empat juta rupiah);
3.
diperuntukkan
bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp 4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah) per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP);
4.
pembangunannya
mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai
persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana; dan
5.
merupakan
unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan
tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
2. Rumah
Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana
Rumah Sederhana dan Rumah
Sangat Sederhana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) PP No 146 Tahun 2000 Impor dan
atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak Tertentu yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diubah dengan PP
38 Tahun 2003.
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor: 36/PMK.03/2007 std. Permenkeu Nomor:
80/PMK.03/2008 memerinci Perumahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN
meliputi Penyerahan:
(1)
Rumah
Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,
(2)
Rumah
Susun Sederhana,
(3)
Pondok
Boro,
(4)
Asrama
Mahasiswa dan Pelajar serta
(5)
Perumahan
Lainnya.
1)
Rumah Sederhana dan Rumah
Sangat Sederhana
yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah
Rumah Sederhana Sehat (RS Sehat/RSH) dan Rumah Inti
Tumbuh (RIT) yang perolehannya, secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas
kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
a.
harga
jual tidak melebihi Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah); dan
b.
merupakan
rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak
dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
Termasuk Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Rumah Sederhana Sehat
(Rs Sehat/RSH) dan Rumah Inti Tumbuh (RIT) yang diserahkan kepada Bank dalam
rangka pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah yang memenuhi ketentuan:
a.
harga
jual tidak melebihi Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah);
b.
dibeli
oleh bank dengan tujuan untuk dijual kembali kepada masyarakat yang
berpenghasilan rendah dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
dan
c.
rumah
tersebut harus dijual kembali kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dibeli.
2) Rumah
Susun Sederhana yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan bertingkat
yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian
yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun
terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya secara tunai ataupun
dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang
memenuhi ketentuan:
a)
harga
jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp 75.000.000,00
(tujuh puluh lima juta rupiah);
b)
luas
bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter
persegi);
c)
pembangunannya
mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai
Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan
d)
merupakan
unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan
tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
3) Pondok
Boro yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan sederhana,
berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai
oleh perorangan atau koperasi buruh atau koperasi karyawan yang diperuntukkan
bagi para buruh tidak tetap atau para pekerja sektor informal berpenghasilan
rendah dengan biaya sewa yang disepakati, yang tidak dipindahtangankan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diperoleh.
4)
Asrama Mahasiswa dan
Pelajar
yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan
sederhana, berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan
dibiayai oleh universitas atau sekolah, perorangan dan atau Pemerintah Daerah
yang diperuntukkan khusus untuk pemondokan pelajar atau mahasiswa, yang tidak
dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diperoleh.
5) Perumahan Lainnya yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai meliputi:
a.
Rumah
Pekerja, yaitu tempat hunian, berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat,
yang dibangun dan dibiayai oleh suatu perusahaan, diperuntukkan bagi
karyawannya sendiri dan bersifat tidak komersil, yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (3) atau
Pasal 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, yang tidak dipindahtangankan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diperoleh;
b.
Bangunan
yang diperuntukkan bagi korban bencana alam nasional.
Peraturan Terkait PPnBM
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain
Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
a.
“Pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dikenakan PPnBM apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: Apartemen,
kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih;
b.
Rumah dan town house dari jenis non strata title, dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih”.
c.
PPnBM dikenakan sebesar 20%
dikalikan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Harga Jual
Dengan memperhatikan beberapa ketentuan di atas dapat dibuat
penegasan bahwa Dasar Pengenaan Pajak dalam menghitung PPh Final Pasal 4 ayat
(2), PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah HARGA JUAL sehingga dalam hal “nilai menurut
akta pengalihan hak maupun NJOP” diketahui lebih rendah dari “nilai pengalihan
yang sebenarnya (harga jual)”, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak dihitung
dari “nilai pengalihan yang sebenarnya (harga jual)”. Dengan kata lain Wajib Pajak harus
menggunakan harga jual yang sebenarnya di dalam Akta Pengalihan Hak (Akte Jual
Beli).
Peraturan Terkait BPHTB
a.
Bea
perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
b.
Perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan
adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.
c.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
d.
BPHTB
Terutang = 5% (NPOP – NPOPTKP)
DKI Jakarta menetapkan
NPOPTKP sebesar Rp 80.000.000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp
350.000.000 untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah.
Tugas: Ditulis Tangan, dikumpulkan tanggal 25 Maret 2015
Apa yang dimaksud :
1. Apartemen
2. Kondominium
3. Rumah Cluster
4. Town House
5. PPJB
6. AJB
7. Roya
2. Kondominium
3. Rumah Cluster
4. Town House
5. PPJB
6. AJB
7. Roya
No comments:
Post a Comment